Akhirnya, kesempatan itu datang
juga, dan Alhamdulillah, saya berhasil menjejakkan kaki di tetangganya Ternate,
Pulau Tidore.
Selama ini sejak saya ditempatkan
di Maluku Utara, Tidore hanya saya bisa saksikan ketika saya hendak ke dan dari
Ternate, Tidore dengan Gunung Kie Matubu-nya yang tinggi menjulang membentuk
sudut segitiga lancip yang kokoh seakan menjadi daya tarik sendiri buat saya.
Atas bantuan seorang teman yang
asli Tidore, semua perjalanan selama di Tidore menjadi terasa lebih mudah.
Dua kali sudah saya menjejakkan
kaki di Tidore, pada kunjungan pertama, tidak banyak yang saya lakukan disana,
selain perencanaan yang kurang siap, selain itu juga hujan turun hampir
sepanjang hari membuat saya tidak dapat berbuat banyak melsayakan aktifitas di
luar.
Saat itu saya berkesempatan
bertugas ke daerah Jailolo, ada satu hari libur weekend, biasanya saya kalau
tidak ke Ternate, atau explore Jailolo, namun karena kedua tempat tersebut
dirasa sudah terlalu sering, ada ide untuk berkunjung ke Pulau Tidore, ketika
saya coba menghubungi teman saya yang ada di Tidore, Alhamdulillah dia sedang
ada di Tidore, dan akhirnya berangkatlah saya ke Tidore melalui Ternate.
Dari Pelabuhan Jailolo, saya naik
speed ke Pelabuhan Dufa-Dufa di Tidore, dari sana saya ke Pelabuhan Bastiong
untuk nyebrang ke Tidore dan tiba di Pelabuhan Rum, Pelabuhan speed jika kita
nyebrang dari Ternate. perjalanan dari pelabuhan bastiong ke pelabuhan rum
sekitar 10-15 menit menggunakan speed Sesampai disana teman saya sudah
menunggu, lalu kami berkendara menuju pusat kota Tidore. Perjalanan dari
Pelabuhan Rum ke pusat kota ternyata cukup jauh, sekitar hampir 30 menit
berkendara motor barulah kami sampai di pusat kota Tidore.
Malam harinya setelah saa diajak
berkeliling suasana pusat Kota Tidore yang lengang, namun bersih dan rapi.
Besoknya sebelum kembali ke Ternate, saya sempatkan
mengunjungi Kedaton Tidore
Pada kunjungan berikutnya, libur
panjang awal April 2017, sesuai kesepakatan kami berencana mengunjungi Pulau
Filonga atau Failonga, yang jaraknya tidak jauh dari daratan Tidore, namun
untuk menuju kesana kami dihadang oleh arus laut yang cukup kencang, sehingga
harus berhati-hati.
Pulau Filonga ini pulau kecil namun
mempunyai gugusan karang yang indah dibawahnya, pasir pantainya yang putih
serta air lautnya yang jernih menambah daya tarik orang untuk berkunjung
kesana, dibeberapa video di youtube yang sempat saya saksikan, kebanyakan orang
kesana untuk snorkeling dan selfie dibawah air dengan menggunakan kamera,
karena cahaya matahari yang terang, permukaan bawah laut yang putih
menghasilkan video atau foto yang cerah dan menarik.
Selesai dari sana, sorenya saya
bersantai di Taman Pantai Tugulufa, menikmati pisang goreng sambel roa dan air
guraka.
Keesokan harinya, kami berencana
naik ke gunung tertinggi di Maluku Utara, orang sana bilang Gunung Kie Matubu,
atau disebut juga Gunung Tidore. Gunung ini konon dikeramatkan oleh Penduduk
Tidore, untuk dapat naik kesana, penduduk dari luar harus meminta izin dengan
juru kunci Gunung Kie Matubu, untuk menuju titik awal pendakian dimulai dari
Desa adat Gurubunga, sekalian meminta izin dengan juru kunci Gunung Kie Matubu
yang tinggal disana.
Lokasi Desa Gurubunga itu ada di
kaki gunung, jalur perjalanan menuju desa sangat terjal, menanjak curam, kadang
dengan kemiringan hampir 45 derajat. Jika belum terbiasa dengan jalur seperti
itu, sangat terasa sekali adrenalin kita terpacu melihat tantangan
perjalanannya, pastikan kondisi kendaraan dalam kondisi baik, khawatir jika
kondisi kendaraan kurang baik malah mengakibatkan kecelakaan karena jaur
perjalanan yang naik terus yang hampir tidak ada jalur yang rata untuk
istirahat.
Dan sampailah kami di gerbang Desa
Gurubunga, setelah mendapat izin, kami langsung memulai pendakian dari belakang
rumah sang juru kunci, perjalanan awalnya menyenangkan, melewati kebun dengan
permukaan jalan yang masih landai, namun makin naik ke atas, perjalanan semakin
menantang, awalnya kami sempat dibuat bingung dengan jalur yang ada, namun
akhirnya kami menemukan juga jalur jalan yang sudah ada, namun demikian jangan
berfikir jalur yang sudah ada itu sudah berbentuk jalur yang rapi dan tertata,
jalur yang saya maksud adalah jalur pejalan kaki para penduduk yang mempunyai kebun
d atas.
Setelah melewati kebun, suasana
berganti, kami mulai memasuki jalur hutan bambu dimana banyak sekali pohon
bambu dengan batangnya yang sangat besar bergelantungan menjulang tinggi,
bahkan banyak yang sudah patah karena munkin sudah terlalu lama, teman saya
bilang di daerah ini merupakan daerah keramat, jadi sebaiknya jangan berbuat
macam2, saya urungkan untuk mengambil foto suasana hutan bambu disini, nampak
dikejauhan terdapat sebuah gubuk yang kata temen saya itu merupakan salahsatu
rumah adat penduduk lokal.
Perjalanan semakin menanjak,
terjal, sempit, bukan lagi hutan bambu namun sudah benar-benar hutan dengan
pohon yang tinggi-tinggi, dan kita harus mengetahui dengan jelas jalur
pendakian, karena tanda2 jalur pendakian yang ditemui kebanyakan hanya berupa
ikatan kain dengan warna tertentu yang diikatkan di batang pohon, sementara
jalur jalannya hampir tidak ada samasekali kecuali kita kenali dari
batang-batang pohon yang sengajak dipatahkan sebagai penanda.
Sesekali kami berisitirahat untuk
sekedar melepas lelah, menikmati alam sekitar, jika melihat ke bawah sudah
nampak dikejauhan kami sudah setengah perjalanan, gugusan awan mulai masuk ke
dalam hutan dan itu kadang membuat penglihatan agak terganggu, namun
Alhamdulillah tidak berlangsung lama, kadang berfikir pengen dihentikan
mengingat jalurnya yang semakin terjal dan tinggi, tapi semua itu dikalahkan
oleh rasa penasaran kami untuk menaklukan puncak tertinggi di Maluku Utara.
Dan akhirnya sampailah kami di
puncak Gunung Kie Matubu, berdiri diatas batu, melihat dari ketinggian Kota
Tidore dan sekitarnya, melihat dari ketinggian dengan mata telanjang, pulau
Halmahera, sebuah pengalaman tidak terduga. Jam menunjukan pukul sekitar 11:35
wit, total pendakian kami tempuh selama 3,5 jam, kurang lebih sesuai dengan
rencana yang rata2 4 jam pendakian yang biasa orang lsayakan.
Saat pendakian kami beberapakali
bertemu anak muda penduduk lokal yang bermalam diatas gunung untuk menikmati
pemandangan dan buat mereka itu seperti sudah menjadi kebiasaan.
Saat dipuncak, panas terik sangat
menyengat, namun hembusan angin cukup kuat, gumpalan awan putih yang besar juga
ikut menempel di puncak gunung, dan sayangnya gumpalan awan tersebut menutupi
pemandangan kami ke arah Pulau Ternate, yang akhirnya kami hanya bisa menikmati
pemadangan dari atas hanya ke arah Tidore dan sebagian Halmahera, di beberapa
foto pemandangan ke arah Ternate lebih indah, terutama pemandangan di malam
hari dimana lampu2 menyala menghiasi sekeliling pulau Ternate, namun kami
memang tidak ada rencana bermalam di atas gunung.
Hanya sekitar satu jam kami diatas
puncak, karena hari sudah semakin siang, udara semakin panas, kami putuskan
untuk turun, beristirahat sebentar di bawah puncak di bekas tempat orang
memasang tenda. Kami tidak membawa perbekalan banyak, hanya air mineral 1,5
liter dan itu sudah hampir habis serta beberapa bungkus biskuit. Saat itu
persendian kaki mulai dirasakan sakit, saya tidur sebentar kurang lebih sekitar
satu jam.
Saatnya turun ke bawah, persendian
kaki benar2 sakit, naik gunung ini adalah pengalaman pertama seumur hidup saya,
jadi saya tidak tau apa2 yang harus dipersiapkan sebelum naik gunung, kami pun
naik gunung dengan semangat suasana happy saja, tidak terfikir akan mengalami
persendian yang sangat sakit ini.
Perjalanan turun ke bawah
seharusnya bisa ditempuh lebih cepat, namun karena persendian kaki saya yang
nyeri, membuat jalan terpincang-pincang, perjalanan jadi melambat, kepikiran
perjalanan yang harus ditempuh dengan segala kondisinya, membuat rasa nyeri makin
berasa, saya harus bertekad bisa turun kebawah sebelum gelap datang, frekuensi
istirahat perjalanan turun ke bawah lebih banyak dilakukan, kadang dibeberapa
medan perjalanan, saya menggunakan bongkahan daun pohon kelapa sebagai alat
seluncur karena sakitnya persendian.
Setiap berhasil melewati fase
perpindahan suasana hutan, perasaan hati semakin senang, rasa nyeri di sendi
terus saya lawan, mau nangis juga rasanya udah nggak bisa, mau digotongpun
siapa juga yang mau gotong, secara kami hanya berdua, membayangkan terjebak
malam ditengah hutan berdua dengan kondisi kaki yang begitu, duhhh ......
Perlahan tapi pasti akhirnya kami
berhasil memasuki kawasan perkebunan, kawasan terakhir sebelum memasuki kawasan
rumah penduduk, rasa haus dan lapar mulai mendera, namun rasa sakit tidak
kunjung hilang.
Sesampai di rumah juru kunci, kami
disuguhkan teh manis hangat dan itu sangat terasa sekali kesegaran di badan,
tidak berlama-lama disana, karena hari sudah semakin sore, akhirnya kami turun
ke pusat kota, sblm ke rumah menyempatkan membeli beberapa makanan dan obat utk
kesembuhan.
Malam harinya saya tidak bisa tidur
dengan nyenyak karena “menikmati”rasa nyeri yang sedang menjalar di persendian
kaki.
Esok paginya, alhamdulillah
persendian sudah membaik, sudah hilang, namun rasa trauma sedikit masih ada,
tetapi segera hilang. Saya ke kawasan Pantai Tugulufa melihat aktifitas
penduduk menikmati car free day dengan senam bersama di udara pagi yang sangat
segar.
Sambil
menikmati aktifitas, dipinggir pantai, saya terus menatap ke atas gunung Kie
Matubu, sambil terus merasa tidak percaya bahwa saya pernah berada dipuncaknya
dengan segala bentuk perjuangan perjalanannya.
Sebuah pengalaman yang tidak akan
terlupakan, buat saya munkin ini yang pertama dan terakhir naik gunung,
pengalaman yang indah, pengalaman berharga juga pengalaman yang mengesankan,
karena memang bukan passion saya, karena saya lebih senang menikmati
pemandangan bawah laut.
Secara keseluruhan saya sangat
menikmati suasana Kota Tidore yang teratur, rapi, bersih dan lengang.
Komentar
Posting Komentar